Ini bukan blog post tentang siapa yang lebih unggul dari kedua pasangan Capres & Cawapres. Sama sekali tidak bermaksud untuk bilang yang satu lebih kurang dibanding yang lain, tidak. Ini adalah sesuatu yang sangat personal untuk saya karena selama 5 tahun ke depan kepada pasangan terpilih, masa depan saya dan keluarga ada di tangan pasangan tersebut.
Profesi saya di dunia teknologi mengajarkan bahwa kemampuan saya untuk dapat berkembang tidak mengenal batasan. Oleh karena itu, satu-satunya penghambat paling signifikan untuk berkembang sebenarnya adalah diri saya sendiri.
Selama saya hidup, saya sudah tahu bahwa saya ingin berkembang di dunia teknologi. Hal ini saya sadari dari sejak saya pertama kali main komputer Ayah saya.
Secara tidak sadar, keingintahuan saya membawa saya ke berbagai pengalaman hidup yang luar biasa. Saya belajar semua sendiri di awal.
Sewaktu SMP dulu, saya cukup beruntung sudah mempunyai koneksi Internet di rumah. Saat itu rasanya seperti banjir ilmu. Segala macam saya pelajarin. Saya ikut-ikutan mendapatkan listing kartu kredit orang-orang di negeri barat. Ketika sudah dapat, saya print. Lalu saya tunjukkan ke Opung saya. Alhasil saya habis dimarahin.
Ilmu itu tidak mengenal baik atau tidak baik, ilmu itu absolut. Opung saya berbicara sangat tegas bahwa ia tidak memberikan saya berbagai fasilitas untuk menghasilkan pribadi yang tidak baik. Sejak itu saya merubah cara saya belajar.
Saya beruntung mempunyai Opung yang tidak menghargai hasil perbuatan yang tidak baik. Tapi dia tidak menyerah kepada saya, saya tetap diberikan berbagai fasilitas untuk belajar.
Lalu tidak lama setelah itu, suatu sore saya menemani Opung saya jalan-jalan di taman di rumah. Waktu itu halaman sedang disapu oleh tukang kebun. Kontan saat itu Opung saya mengambil sapu yang tidak digunakan dan ikut menyapu. Setelah itu saya tanya, “Kok tadi Opung bantu nyapu, kan udah ada yang ngerjain?”.
Jawaban Opung saya ada 2 dan sangat sederhana.
Pertama, dia mengutarakan tentang keteladanan. Kalau saya ingin orang yang bekerja dengan dan untuk saya happy, maka saya harus mendapatkan respek orang lain. Paling mudah adalah dengan ikut bekerja bareng.
Kedua, kasih tau caranya untuk melakukan pekerjaan tersebut untuk memperoleh hasil yang baik. Dengan begitu, orang-orang tersebut akan menghasilkan lebih banyak orang yang akan menghasilkan hasil yang baik, bahkan lebih.
Jawaban-jawaban tersebut hingga hari ini adalah tuntunan saya dalam menjalani hidup. Ini adalah rumus paling sederhana untuk menjadi agen perubahan. Hal-hal tersebut menular dan luar biasa rasanya dikelilingi oleh orang-orang yang berpikiran sama.
Jadi saya hanya akan memilih orang yang menghargai saya sebagai asset paling berharga negara ini.
Bukan hanya saya, tapi anda semua yang mempunyai pemikiran yang sama. Cukup dengan menularkan idealisme seperti ini setidaknya ke 1 orang lain di sebelah anda, maka Indonesia akan diuntungkan.
Saya ingin berbicara mengenai pimpinan-pimpinan negara saya dengan bangga. Bukan untuk menjelekkan yang memang sudah jelek tapi untuk menyebarkan optimisme dan sifat positif terhadap Indonesia.
Beberapa tahun yang lalu, saya kira pimpinan yang saya impikan itu Prabowo Subianto. Saya kagum bahwa pada saat itu, orang-orang yang saya jadikan teladan mempunyai korelasi dengan partai yang diusung.
Bahkan Oma saya juga mulai sering membicarakan soal Prabowo di masa-masa akhir hidupnya. Oma (dan saya juga) sangat menyukai ketegasan Prabowo. Hingga saat ini juga saya masih Like Facebook Page nya Prabowo. Saya suka baca tulisan-tulisan dia yang menyapa rakyat Indonesia.
Tapi saya kecewa bahwa semakin dekat dengan tanggal 9 Juli 2014, saya tidak melihat kekaguman saya itu punya dasar yang konkrit. Pertanyaan saya adalah, apakah orang-orang di partai tersebut yang saya kagumi adalah refleksi dari Prabowo Subianto?
Hal yang paling mendasar adalah, saya gagal untuk melihat melihat korelasi antara Prabowo Subianto dengan orang-orang tersebut. Saya justru malah mempertanyakan orang-orang tersebut sekarang. Kenapa pilih Prabowo Subianto?
Ternyata yang saya dapati adalah saya ini korban pencitraan.
Saya tidak melihat hasil konkrit yang berasal dari Prabowo Subianto. Hal-hal baik apa yang selama 5 tahun terakhir ini telah terjadi oleh karena Prabowo Subianto yang mempunyai efek luas terhadap masyarakat?
Apakah Prabowo Subianto merupakan sosok yang mewarisi 2 sifat yang Opung saya ajarkan kepada saya? Tidak.
Mengenai ketegasan, menurut saya Opung saya itu adalah orang yang luar biasa tegas. Dia jarang berbicara dan malah tidak perlu berbicara banyak tapi orang-orang di sekitar dia tidak pernah kekurangan respek terhadap dia.
Opung saya adalah bagian dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta di jamannya. Dia lah yang membangun fondasi-fondasi Jakarta di tahun 70-80an di bawah pemerintahan Ali Sadikin. Gedung Parkir di Glodok adalah wujud nyatanya. Dia berhasil membangun Gedung Parkir tersebut dengan berdialog dengan pedagang-pedagang yang ada disana.
Ini adalah satu-satunya berita yang tersedia di Internet mengenai Opung saya. Namanya adalah Partomoean Harahap.
Berkaca dari pribadi Opung saya, saya pilih Jokowi.
Semuanya tentang Jokowi, saya telah mendapatkan teladan tersebut dari sosok Opung saya. Jokowi menghargai keterbukaan dan sumber daya manusia. Saya rasa ini adalah alasannya kenapa Jokowi membuat saya teringat kembali tentang Opung saya.
Opung saya berhasil membawa kesejahteraan kepada keluarga intinya dan begitu banyak keluarga-keluarga lainnya. Ini lah yang saya harapkan dari Jokowi.
Kesejahteraan itu menurut saya tidak mempunyai beban mental dan apalagi finansial. Karena apa yang dilakukan baik dan mempunyai akibat yang baik, sedikit demi sedikit.
Blog post ini adalah cara saya mengkampanyekan pilihan saya: Jokowi. Nanti waktu anak saya lahir bulan Agustus ini, saya tidak akan malu sama turunan saya dan dapat mengatakan bahwa saya telah berusaha untuk menjadikan orang baik sebagai Presiden Indonesia.
Salam Dua Jari!